Selasa, 27 Januari 2015

LAPORAN PKL



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dewasa ini kecenderungan manusia untuk kembali ke alam semakin meningkat, termasuk penggunaan obat yang berasal dari tumbuhan atau dikenal dengan istilah obat tradisional. Kecenderungan ini disebabkan  karena obat alami dari tumbuhan dirasa mempunyai efek samping yang lebih kecil dibanding obat-obat modern. Secara umum, yang termasuk kelompok obat tradisional adalah obat yang berasal dari alam, baik yang berasal dari tumbuhan, hewan, maupun bahan-bahan mineral. Penggunaan jenis-jenis tumbuhan, baik berupa akar, kulit, batang, kayu, daun, bunga, maupun biji untuk pengobatan penyakit telah dikenal sejak zaman purbakala (Depkes RI, 1989).
Beberapa jenis tumbuhan yang banyak dimanfaatkan sebagai obat diantaranya adalah jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) dan kemuning (Murraya paniculata (L) Jack). Dua tanaman tersebut tercantum dalam Farmakope Herbal Indonesia sebagai tanaman obat berkhasiat (Depkes RI, 2001). Beberapa referensi yang telah ada menyebutkan bahwa jati belanda banyak dimanfaatkan sebagai obat pelangsing, obat mencret, diare, batuk, nyeri perut, diaforetik, kaki bengkak, dan obat penurun hiperlipidemia. Sedangkan, kemuning untuk mengatasi nyeri, menurunkan demam, obesitas, penyakit infeksi seperti bisul, eksema, ulkus, infeksi saluran kencing, infeksi saluran pernafasan, diare dan disentri (Heyne, 1987).
 Berdasarkan khasiat dari masing-masing tanaman tersebut, dipengaruhi oleh kandungan senyawa yang terdapat di dalamnya. Beberapa penelitian telah berhasil mengidentifikasi golongan senyawa-senyawa kimia yang terdapat di dalam jati belanda dan kemuning. Kandungan senyawa kimia dalam jati belanda antara lain flavonoid, triterpen, tanin, saponin, polifenol, kardenolin, alkaloid (kafein, beta sitosterol, friedelin 3a-asetat, friedelin 3b-ol, terpen) dan butadienol. Sedangkan dalam kemuning mengandung senyawa kimia seperti minyak atsiri , alkaloid, flavonoid, saponin, damar, dan tanin (BPOM, 2004).
Penelitian yang telah dilakukan bertujuan untuk mengontrol kualitas simplisia tanaman obat sebagai bahan baku jamu dari Tawangmangu. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT), Tawangmangu yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian RI (Tim B2P2TOOT, 2013).
B.  Rumusan Masalah
Bagaimana kualitas simplisia jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) dan kemuning (Murraya paniculata (L) Jack) sebagai bahan baku jamu?
C.  Tujuan Penelitian
Mengetahui kualitas simplisia jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) dan kemuning (Murraya paniculata (L) Jack) sebagai bahan baku jamu, berdasarkan parameter standar kementerian kesehatan. 
D.  Manfaat Penelitian
            Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan data penelitian tentang senyawa yang berasal dari bahan alam yang dapat berpotensi sebagai jamu atau obat. Selain itu, dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan pemilihan simplisia bahan baku jamu dalam eksplorasi senyawa bahan alam, baik isolasi maupun skrining aktivitas biologi, dan penelitian di bidang kimia yang relevan lainnya.




BAB II
PROFIL BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TANAMAN OBAT DAN OBAT TRADISIONAL (B2P2TOOT), TAWANGMANGU


A. Sejarah Singkat
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) terletak di Desa Kalisoro, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.  Balai ini merupakan Unit Pelaksana Teknis, Badan Litbang Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI yang dirintis dari usaha tanaman obat Hortus Medicus pada tahun 1948.  Seiring dengan perubahan kebijakan pemerintah atas dasar pertimbangan bahwa Hortus Medicus adalah tempat penelitian tanaman obat dan sesuai dengan surat keputusan Menteri Kesehatan RI No.149/Menkes/SK/IV/78 pada tanggal 28 April 1978, maka Hortus Medicus Tawangmangu diubah namanya menjadi Balai Penelitian Tanaman Obat (BPTO) yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Dep. Kes. RI.  Secara kelembagaan BPTO membutuhkan pengembangan organisasi agar mampu menampung seluruh kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan lembaga dari hulu hingga hilir yaitu dari tanaman obat ke obat tradisional.  Mengacu perkembangan tersebut, melalui Menteri Kesehatan, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.491/Per/Menkes/VII/2006 pada tanggal 17 Juli 2006 yang menetapkan BPTO dikembangkan menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) (Tim B2P2TOOT, 2013).
B. Visi dan Misi
1. Visi
                        Masyarakat sehat dengan jamu yang aman dan berkhasiat.
2. Misi
       a.  Meningkatkan mutu litbang tanaman obat dan obat tradisional.
       b.  Mengembangkan hasil litbang tanaman obat dan obat tradisional.
c. Meningkatkan pemanfaatan hasil litbang tanaman obat dan obat tradisional (Tim B2P2TOOT, 2013).
C. Nilai, Motto dan Janji Layanan
1.  Nilai
     Pro rakyat, jujur, disiplin, bertakwa dan berbudaya.
2. Motto
Ramah, informatif dan terpercaya.
3. Janji Layanan
     Memberikan pelayanan yang cepat, tepat, akurat dan profesional (Tim B2P2TOOT, 2013).

D. Tugas dan Fungsi
1. Tugas
       Melaksanakan penelitian dan pengembangan tanaman obat dan obat tradisional.
2. Fungsi
a.    Perencanaan, pelaksanaan, evaluasi penelitian dan atau pengembangan di bidang obat dan obat tradisional.
b.    Pelaksanaan eksplorasi, inventarisasi, identifikasi, adaptasi dan koleksi plasma nutfah tanaman obat.
c.    Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi konservasi dan pelestarian plasma nutfah tanaman obat.
d.   Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi standarisasi tanaman obat dan obat tradisional.
e.    Pelaksanaan pengembangan jejaring kerjasama dan kemitraan di bidang tanaman obat dan obat tradisional.
f.     Pelaksanaan pelatihan teknis di bidang pembibitan, budidaya, paska panen, analisis, koleksi spesimen tanaman obat serta uji keamanan dan kemanfaatan obat tradisional.
g.    Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
Selain memiliki tugas dan fungsi, B2P2TOOT juga memiliki kegiatan utama antara lain:
a.    Melaksanakan saintifikasi jamu: penelitian berbasis pelayanan
b.    Mengembangkan bahan baku terstandarisasi
c.    Mengembangkan jejaring kerjasama
d.   Mengembangkan teknologi tepat guna
e.    Diseminasi, sosialisasi dan pemanfaatan hasil litbang TOOT
f.     Mengembangkan karir dan mutu SDM
g.    Meningkatkan perolehan HKI dari hasil litbang TOOT
h.    Mengembangkan sarana dan prasarana
i.      Menyusun draft regulasi dan kebijakan teknis litbang TOOT (Tim B2P2TOOT, 2013).
E. Ketenagaan
SDM di B2P2TOOT Tawangmangu berjumlah 88 orang, meliputi 77 PNS dan 11 CPNS.  Bidang ilmu antara lain biologi, agronomi, agribisnis, teknologi pertanian, biokimia, farmakologi, kedokteran, kefarmasian, analis kesehatan,  kesehatan masyarakat dan komunikasi (Tim B2P2TOOT, 2013).
F. Bidang Kepakaran
Penelitian dan pengembangan di B2P2TOOT dikelompokkan menjadi 2 bidang, yaitu:
1.    Tanaman Obat, meliputi: bioprospeksi, teknologi obat tradisional dan standarisasi tanaman obat.
2.    Obat Tradisional, meliputi: keamanan dan khasiat obat tradisional (Tim B2P2TOOT, 2013).
G. Struktur Organisasi
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Eselon 2 di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.
       
KEPALA.
INSTALASI DAN LABORATORIUM
SEKSI KERJASAMA DAN INFORMASI
SEKSI PROGRAM DAN EVALUASI
SEKSI  SARANA PENELITIAN

BIDANG PROGRAM, KERJASAMA DAN INFORMASI

BIDANG PELAYANAN
PENELITIAN
.
SUB BAG. KEUANGAN
SUB BAG. UMUM
 BAGIAN TATA USAHA

KELOMPOK
JABATAN
FUNGSIONAL
SEKSI  PELAYANAN TEKNIS PENELITIAN

STRUKTUR ORGANISASI

Gambar 2.1 Struktur organisasi B2P2TOOT, Tawangmangu
(Tim  B2P2TOOT, 2013).

H. Laboratorium dan Instalasi
Peralatan laboratorium utama yang mendukung pelaksanaan kegiatan laboratorium seperti Gas Chromatography, TLC densitometer, High Performance Liquid Chromatography (HPLC), Vacum Rotavapor, spectrophotometer, blotting apparatus, Termocycler PCR dan lain sebagainya.
1.    Laboratorium
a.  Laboratorium Sistematika Tumbuhan
Untuk identifikasi, determinasi, dan pengembangan database.  Kegiatan rutin berupa pembuatan spesimen dalam bentuk preparat mikroskopis, herbarium basah dan kering, serta determinasi tanaman.
b.    Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman
Untuk identifikasi hama dan penyakit tanaman dan penelitian tentang cara pengendalian hama dan penyakit tanaman.
c.    Laboratorium Galenika
Untuk mengolah simplisia menjadi bentuk sediaan yang siap digunakan. Kegiatan yang dilakukan berupa pembuatan ekstrak, destilasi minyak atsiri serta mengkoleksi atau membuat bank ekstrak dan bank minyak atsiri. 
d.   Laboratorium Fitokimia
Untuk mengetahui kandungan kimia tanaman yang meliputi penapisan fitokimia, pembuatan profil Kromatografi Lapis Tipis (KLT), isolasi zat aktif dan penetapan kadar senyawa aktif. 
e.       Laboratorium Formulasi
Untuk mengembangkan produk dan bentuk sediaan, antara lain: kapsul, tablet jamu, sabun sehat, minuman instant, minyak gosok, aromaterapi, lulur dan masker.
f.     Laboratorium Toksikologi dan Farmakologi
Untuk mendukung kegiatan penelitian praklinik, yaitu mengkaji khasiat dan keamanan formula jamu dengan menggunakan hewan coba.
g.    Laboratorium Bioteknologi
Untuk kultur jaringan tanaman dan biologi molekuler. 
2.    Instalasi
a.  Instalasi Benih dan Pembibitan Tanaman Obat
Kegiatan Instalasi Benih dan Pembibitan meliputi pengumpulan, pengolahan dan menyediakan stok benih tanaman obat.
b.    Instalasi Adaptasi dan Pelestarian
Tujuan adaptasi adalah mengaklimatisasi tanaman hasil eksplorasi maupun tanaman baru agar mampu tumbuh di lokasi baru.  Pelestarian ditujukan untuk menjaga kelestarian tanaman obat yang sudah langka, sangat sedikit dan pertumbuhannya mudah terganggu oleh perubahan iklim.
c.    Instalasi Koleksi Tanaman Obat
1.    Kebun Etalase Tanaman Obat
Etalase tanaman obat merupakan kebun rekreasi dan edukasi yang digunakan sebagai sarana pembelajaran atas keragaman jenis tanaman obat dan manfaatnya.  Terletak pada ketinggian 1200 meter dpl. Jumlah koleksi kurang lebih 800 spesies.
2.    Kebun Tlogodlingo
    Terletak pada ketinggian 1700-1800 meter dpl dengan luas sekitar 12  Ha.
3.    Kebun Karangpandan
Kebun Karangpandan terdiri dari Kebun Toh Kuning dan Doplang. Kebun tersebut terletak pada ketinggian 600-700 meter dpl dengan luas sekitar 2,5 Ha.
d.   Instalasi Paska Panen
Instalasi paska panen melakukan penanganan hasil panen tanaman obat, meliputi pencucian: sortasi, pengubahan bentuk, pengeringan, pengemasan dan penyimpanan (Tim B2P2TOOT, 2013).


BAB III
DASAR TEORI

A.  Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan. Terdapat 3 macam simplisia yaitu, simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati merupakan simplisia yang berupa tanaman utuh  atau bagian dari tanaman. Simplisia hewani merupakan simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat yang berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni. Sedangkan simplisia pelikan (mineral) adalah simplisia yang berupa bahan pelikan (mineral) yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni (Depkes RI, 1985).

B.     Macam Simplisia Uji
1.        Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.)
a.      Deskripsi Tanaman
Jati belanda atau Guazuma ulmifolia Lamk, mempunyai sinonim nama latin Guazuma tomentosa Kunth. Di jawa jati belanda sering disebut jati londa atau jatos landi (Heyne, 1987). Pohon jati belanda berasal dari daerah tropis di Amerika. Jati belanda dapat tumbuh pada ketinggian 1200 m di atas permukaan laut dengan curah hujan 700-1500 mm (Suganda, 2007).







Gambar 3.1. Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk)

Jati belanda merupakan tumbuhan berupa semak atau pohon, tinggi 10 m sampai 20 m, percabangan ramping. Bentuk daun bundar telur sampai lanset, panjang helai daun 4 cm sampai 22,5 cm, lebar 2 cm sampai 10 cm, pangkal menyerong berbentuk jantung, bagian ujung tajam, permukaan daun bagian atas berambut jarang, permukaan bagian dalam berambut rapat, panjang tangkai daun 5 mm sampai 25 mm, mempunyai daun penumpu berbentuk lanset atau paku, panjang 3 mm sampai 6 mm. Kedudukan  tanaman Guazuma ulmifolia Lamk dalam tata nama tumbuhan termasuk dalam klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom         : Plantae
Subkingdom    : Tracheobionta
Super Divisi    : Spermatophyta
Divisi               : Magnoliophyta
Kelas               : Magnoliopsida
Sub kelas         : Dillenidae
Ordo                : Malvales
Famili              : Sterculiaceae
Genus              : Guazuma
Spesies            : Guazuma ulmifolia Lamk.
(Tjitrosoepomo, 2005).
b.      Kandungan Kimia
Menurut BPOM (2004), kandungan senyawa kimia dalam jati belanda antara lain flavonoid, triterpen, tanin, saponin, polifenol, kardenolin, alkaloid (kafein, beta sitosterol, friedelin 3a-asetat, friedelin 3b-ol, terpen) dan butadienol. Tumbuhan ini kaya dengan berbagai kandungan kimia, kulitnya mengandung asam damar dan zat samak. Daun, buah dan bijinya mengandung zat pahit, glikose, minyak lemak, dan karbohidrat (Suganda, 2007).
c.       Khasiat Jati Belanda
 Jati belanda banyak dimanfaatkan sebagai obat pelangsing, obat mencret, diare, batuk, nyeri perut, kaki bengkak, dan obat penurun hiperlipidemia (Heyne, 1987). Setiap komponen tanaman jati belanda ini memiliki peranan sendiri-sendiri seperti daunnya berperan sebagai obat pelangsing tubuh. Bijinya digunakan sebagai obat mencret. Buah atau daunnya digunakan sebagai obat untuk membantu pengobatan diare, batuk, dan nyeri perut. Kaki batang berperan untuk membantu pengobatan bengkak pada kaki. Penelitian uji klinis digunakan untuk menurunkan hiperlipidemia (Hambing et al., 1992).
2.        Kemuning (Murraya paniculata (L.) Jack)
a.      Deskripsi Kemuning
Kemuning (Murraya paniculatha [L.] Jack.) merupakan tanaman yang biasanya tumbuh liar di semak belukar, tepi hutan, atau ditanam sebagai tanaman hias dan tamanan pagar. Pohonnya kecil, bercabang banyak, tinggi sampai 3-8 m, batangnya keras, beralur, tidak berduri. Daun majemuk, bersirip ganjil dengan anak daun 3-9, letak berseling. Klasifikasi dari tanaman kemuning adalah sebagai berikut:
Kingdom        : Plantae
Subkingdom   : Tracheobionta
Super Divisi   : Spermatophyta
Divisi              : Magnoliophyta
Kelas              : Magnoliopsida
Sub Kelas       : Rosidae
Ordo               : Sapindales
Famili             : Rutaceae
Genus             : Murraya
Spesies           : Murraya paniculata L. Jack
(Tjitrosoepomo, 2005).
Gambar  3.2. Daun Kemuning (Murraya paniculata [L.] Jack.)
b.      Kandungan Kimia
Kemuning mengandung senyawa kimia seperti minyak atsiri , alkaloid, flavonoid, saponin, damar, dan tanin. Selain itu, kandungan kimia dalam tanaman keminung antara lain cadinene, methyl-anthranilate, bisabolene, P-earyophyllene, geraniol, carene-3, eugenol, citronellol, methyl-salicylate, ostholo, tanin, paniculatin, guaiazulene, coumurrayin, mexotionin, 5-7-dimetoxy-8-(2,3-dihydroxyisopentyl) coumarin, scopeletin, dan semi-ec-carotenone (Hambing et al., 2002).
c.       Khasiat Kemuning
Kemuning untuk mengatasi nyeri, menurunkan demam, obesitas, penyakit infeksi seperti bisul, eksema, ulkus, infeksi saluran kencing, infeksi saluran pernafasan, diare dan disentri (Heyne, 1987). Menurut Hambing dan kawan-kawan (1992), berbagai manfaat yang terdapat pada tanaman kemuning ini antara lain radang buah zakar (orchitis), radang saluran napas (bronkhitis), infeksi saluran kencing, kencing nanah, keputihan, sakit gigi, haid tidak teratur, lemak tubuh berlebihan, pelangsing tubuh, nyeri pada tukak (ulkus), kuli kasar, memar akibat benturan, rematik, keseleo, digigit serangga dan ular berbisa, eksema, bisul, koreng, epidemik encephalitis B, luka terbuka di kulit.


C.  Flavonoid
Dalam tumbuhan, flavonoid adalah pigmen-pigmen yang tersebar secara luas dalam bentuk senyawa glikon dan aglikon. Flavonoid memiliki kerangka dasar 15 atom karbon, dimana dua cincin benzena (C6) terikat pada suatu rantai propana (C3) sehingga membentuk susunan C6-C3-C6. Biasanya mengandung benzopiron. Glikosidanya dalam tumbuhan dapat ditarik dengan pelarut-pelarut organik yang bersifat polar seperti metanol dan etanol. Identifikasi senyawa ini dapat dilakukan dengan reaksi Bate Smith-Metcalf atau Sianidin-Wilstater terutama untuk senyawa yang mempunyai struktur benzopiron (Harbone, 1996). Contoh senyawa golongan flavonoid disajikan dalam gambar 3 berikut ini :







Gambar  3.3.  Struktur Quercetin
Flavonoid adalah senyawa metabolit sekunder, dihasilkan oleh suatu tanaman yang dijumpai pada bagian daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga dan biji. Flavonoid merupakan pigmen berwarna mencakup warna merah, ungu, biru, dan sebagian kuning. Flavonoid mempunyai sifat khas yaitu bau yang sangat tajam, mudah terurai pada temperatur tinggi, larut dalam air dan pelarut organik. Flavonoid bersifat racun/aleopatik terdapat pada kulit jeruk manis, merupakan persenyawaan glikosida yang terdiri dari gula yang terikat dengan flavon. Flavonoid yang tidak ada rasanya disebut hesperidin, sedangkan limonin menyebabkan rasa pahit. Sebagian besar flavonoid alam ditemukan dalam bentuk glikosida yang terikat oleh gula (Macdonald et al., 2011).
Flavonoid dapat diidentifikasi dengan berbagai cara seperti diberikan uap ammonia (tidak semua flavonoid dapat diuapin ammonia) atau dapat menggunakan spektrofotometri UV-Vis. Analisis dilakukan dengan tahapan pembuatan larutan standar, yakni dengan menggunakan larutan standar flavonoid, optimasi panjang gelombang, penentuan absorbansi murni senyawa flavonoid, dan kalibrasi hasil pengukuran dengan standar yang sudah dibuat. Larutan standar yang digunakan adalah senyawa flavonoid dengan konsentrasi 5, 10, 20, 30, 40, dan 50 ppm. Larutan blangko yang digunakan adalah akuades dan sampel sebanyak 1 gram (Harbone, 1996).
Menurut Herbert (1995), Optimasi panjang gelombang dilakukan untuk menentukan panjang gelombang maksimum yang akan digunakan dalam pengukuran menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan menggunakan satu larutan standar. Langkah selanjutnya adalah penentuan absorbansi larutan standar pada panjang gelombang maksimum dilanjutkan dengan penentuan absorbansi sampel. Absorbansi fraksi flavonoid dikalibrasikan dengan kurva konsentrasi standar versus absorbansi standar dengan persamaan regresi linier. Hasil yang diperoleh diperhitungkan dengan faktor pengenceran sehingga diperoleh konsentrasi flavonoid yang terdapat dalam ekstrak metanol bahan baku jamu. Fungsi senyawa flavonoid yaitu sebagai senyawa metabolit sekunder. Metabolit sekunder tidak secara langsung terlibat dalm proses-proses yang bersifat essensial, tetapi biasanya memiliki fungsi ekologis penting. Berbagai aktifitas dari metabolit sekunder antara lain: antikanker, antibakteri, antioksidan, dan antifungi. Penting menentukan kadar flavonoid dalam bahan baku jamu, yaitu sebagai estimasi penggunaan bahan baku tersebut sebagai jamu (Hambing et al., 1992).

D.  Kontrol Kualitas Simplisia
Struktur kimia yang berbeda-beda akan mempengaruhi kualitas serta stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat dan derajat keasaman. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang terkandung dalam simplisia, akan mempermudah pemilihan pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat. Ketetapan kadar senyawa aktif merupakan syarat mutlak mutu ekstrak yang diproduksi. Oleh sebab itu, setiap ekstrak harus distandarisasi. Standarisasi adalah serangkaian parameter, prosedur, dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait seperti paradigma mutu yang memenuhi standar dan jaminan stabilitas produk. Hasil dari proses ekstraksi ini dapat menghasilkan parameter spesifik dan non spesifik ekstrak yang terstandar dan diharapkan mampu menunjukan kualitas ekstrak tersebut baik dalam hal kandungan bahan aktif, kadar air, maupun batas cemaran yang diperbolehkan (BPOM RI, 2004).
Kontrol kualitas merupakan parameter yang digunakan dalam proses standarisasi suatu simplisia. Parameter standarisasi simplisia meliputi parameter spesifik dan non spesifik. Parameter nonspesifik lebih terkait dengan faktor lingkungan dalam pembuatan simplisia, sedangkan parameter spesifik terkait langsung dengan senyawa yang ada di dalam tanaman (Depkes RI, 1985).  

E.     Parameter Standar untuk Obat Tradisional
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994 tentang persyaratan obat tradisional berupa rajangan, rajangan adalah sediaan obat tradisional berupa potongan simplisia, campuran simplisia atau campuran simplisia dengan sediaan galenik, yang penggunaannya dilakukan dengan pendidihan atau peyeduhan dengan air panas. Ada dua parameter yaitu:
1.        Parameter Non Spesifik
a.       Kadar air
Kadar air tidak boleh lebih dari 10 %. Parameter kadar air merupakan suatu pengukuran kandungan air yang terdapat dalam bahan yang dilakukan dengan cara titrasi, destilasi, atau gravimetric. Tujuannya adalah memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air di dalam bahan. Nilai kadar air adalah maksimal atau rentang yang diperbolehkan serta terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (Ritiasa, 2000 dan Sudarmadji, 1997).
b.      Angka lempeng total
Angka lempemg total merupakan pertumbuhan bakteri aerob mesofil setelah cuplikan diinokulasi pada media lempeng agar dengan cara tuang dan diinokulasi pada suhu yang sesuai. Angka lempeng total tidak lebih dari 106 koloni per gram untuk rajangan yang penggunaannya dengan cara pendidihan, tidak lebih dari 107 koloni per gram untuk rajangan yang penggunaannya dengan cara penyeduhan (Ritiasa, 2000).
c.       Angka kapang dan khamir
Angka kapang atau khamir merupakan pertumbuhan kpang atau khamir setelah cuplikan diinokulasi pada media yang sesuai dan diinkubasi pada suhu 20-250C. Angka kapang dan khamir tidak lebih dari 104 koloni per gram (Ritiasa, 2000).
d.      Mikroba patogen
Adanya mikroba patogen negatif
e.       Aflatoksis
Aflatoksis tidak lebih dari 30 bagian per juta (bpj)
f.       Wadah dan penyimpanan
Dalam wadah yang tertutup baik, disimpan pada suhu kamar, di tempat kering dan terlindung dari cahaya matahari.
g.      Kadar Abu
Parameter kadar abu dilakukan dengan pemanasan bahan pada suhu tinggi (8000C) dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap tertinggal unsur mineral dan anorganik atau bahan pengotor lain seperti pasir dan tanah. Bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak.
2.        Parameter Spesifik
a.         Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu (Kadar Sari)
Penetapan senyawa terlarut dalam pelarut tertentu (air dan etanol) bertujuan untuk mengetahui jumlah senyawa yang tersari (terlarut) dalam senyawa tertentu. Jumlah senyawa yang larut dalam pelarut dari suatu simplisia biasanya spesifik. Penetapan penentuan dari parameter ini dilakukan dengan melarutkan ekstrak dengan pelarut etanol dan air untuk ditentukan jumlah solut yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetrik. Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain, misalnya heksana, metanol, dan lain-lain. Penetapan ini didapatkan gambaran awal jumlah kandungan senyawa dalam suatu ekstrak.

F.     Penentuan Kadar Sari
Penetapan kadar sari adalah metode kuantitatif untuk jumlah kandungan senyawa dalam simplisia yang dapat tersari dalam pelarut tertentu. Penetapan ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu kadar sari yang larut dalam air dan kadar sari yang larut dalam etanol. Kedua cara ini didasarkan pada kelarutan senyawa yang terkandung dalam simplisia. Masing-masing sampel dilarutkan dalam pelarut air dan etanol. Setelah itu dikocok dengan Sharker, selama 4-5 jam, kemudian didiamkan selama satu malam. Ekstrak yang telah didiamkan satu malam, disaring dan diambil 20 ml ke dalam cawan dan di keringkan. Setelah cawan dingin, kemudian dilakukan penimbangan dan perhitungan kadar sari larut dalam air dan etanol dengan persamaan berikut:
 
(Depkes RI, 2001).
G.    Penetapan Kadar Abu
Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam organic dan garam anorganik. Yang termasuk dalam garam organic misalnya garam-garam asam mallat, oksalat, asetat, pektat. Sedangkan garam anorganik antara lain dalam bentuk garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat, nitrat. Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral berbentuk sebagai senyawaan komplek yang bersifat organis. Apabila akan ditentukan jumlah mineralnya dalam bentuk aslinya sangatlah sulit,oleh karena itu biasanya dilakukan dengan menentukan sisa-sisa pembakaran garam mineral tersebut,yang dikenal dengan pengabuan (Sudarmadji, 1997).
Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan sebagai berikut:
  1. Untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan
  2. Untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan
  3. Untuk memperkirakan kandungan buah yang digunakan untuk membuat jelly. Kandungan abu juga dapat dipakai untuk menentukan atau membedakan buah asli atau sintesis
  4. Sebagai parameter nilai bahan pada makanan. Adanya kandungan abu yang tidak larut dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya pasir atau kotoran lain ( Winarno, 1991 ).
Penentuan kadar abu adalah mengoksidasikan senyawa organik pada suhu yang tinggi,yaitu sekitar 500-800°C dan melakukan penimbangan zat yang tinggal setelah proses pembakaran tersebut. Lama pengabuan tiap bahan berbeda–beda dan berkisar antara 2-8 jam. Pengabuan dilakukan pada alat pengabuan yaitu tanur yang dapat diatur suhunya. Pengabuan diangap selesai apa bila diperoleh sisa pembakaran yang umumnya bewarna putih abu-abu dan beratnya konstan dengan selang waktu 30 menit. Penimbangan terhadap bahan dilakukan dalam keadan dingin,untuk itu krus yang berisi abu diambil dari dalam tanur harus lebih dahulu dimasukan ke dalam oven bersuhu 105°C agar suhunya turun menyesuaikan degan suhu didalam oven,barulah dimasukkan kedalam desikator sampai dingin,barulah abunya dapat ditimbang hingga hasil timbangannya konstan ( Depkes RI, 2001).
H.    Sonikasi
Sonikasi adalah suatu cara penerapan energi ultrasonik untuk memisahkan partikel-partikel yang menempel pada sampel yang akan disonikasi. Ultrasuara yang digunakan dalam sonikasi merupakan tekanan suara siklik dengan frekuensi yang lebih besar dari pada batas pendengaran manusia. Sonikasi digunakan untuk mempercepat pemisahan partikel dalam sampel, dengan cara mencegah interaksi antarmolekul. Sonikasi juga dapat berfungsi untuk menghilangkan gas-gas terlarut dari cairan sampel dengan cara mensonikasi cauran dalam keadaan vakum. Alat sonikasi yaitu sonikator. Sonikator merupakan generator dengan frekuensi suara tinggi yang digunakan untuk merusak sel atau menggeser asam nukleat. Bahaya penggunaan sonikator mencakup suara dengan frekuensi yang terlalu tinggi yaitu 42 kHz. Sonikator menghasilkan gelombang suara dalam kisaran 20.000 Hz, yang berada di luar kisaran normal pendengaran manusia. Suara yang terdengar saat dihasilkan aktifitas cairan dalam wadah sampel atau getaran diantara peralatan yang longgar (Dean, 1998). Berikut ini adalah gambar sonikator:
Gambar  3. 4. Sonikator
Prinsip kerja sonikasi adalah adalah suatu proses pengubahan sinyal listrik menjadi getaran mekanis yang dapat diarahkan menuju zat yang dilakukan untuk memecahkan ikatan antar molekul atau untuk merusak sel. Bagian utama sonikator adalah generator listrik ultrasonik. Alat ini menghasilkan sinyal yang menghidupkan transduktor. Transduktor kemudian mengkonversi sinyal elektrik dengan menggunakan kristal piezoelectric, yaitu kristal yang dapat merespon listrik dengan menghasilkan getaran mekanis.  Getaran tersebut dijaga sonikator hingga melewati probe. Probe berperan dalam menyampaikan getaran pada cairan yang disonikasi. Pergerakan probe yang yang terjadi dengan cepat menghasilkan efek aktivitas yang terjadi ketika terbentuk gelembung-gelembung mikroskopis dalam larutan akibat adanya getaran. Pembentukan dan penghancuran gelembung tersebut menghasilakan gelombang getaran berenergi tinggi yang dapat merusak sel (Lacoma, 2009).

I.       Spektrofotometri UV-VIS
Spektrofotometri adalah metode analisis zat berdasarkan interaksi materi dengan radiasi elektromagnetik (Khopkar, 1990). Gambar interaksi tersebut adalah sebagai berikut :
Gambar 3. 5. Interaksi Materi dengan REM
Dasar dari spektrofotometri UV-Vis adalah absorpsi. Absorpsi dalam daerah ultraviolet dapat menyebabkan eksitasi elektron yang meliputi transisi elektron π, σ, n, d, f, dan transfer muatan. Panjang gelombang serapan merupakan perbedaan ukuran tingakat-tingkat energi dari elektron yang tereksitasi. Oleh karena itu, punacak absorpsi (λ maks) dapat dihubungkan dengan jenis-jenis ikatanyang ada dalam spesies. Sumber radiasi yang dipancarkan dan seberapa radiasi yang diserap oleh larutan harus memenuhi hukum Lambert-Beer. Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa fraksi penyerapan sinar tidak bergantung pada intensitas sumber cahaya tetapi sebanding dengan banyaknya molekul yang menyerap. Dari hukum Lambert-Beer dapat diketahui hubungan antara transmitan, tebal cuplikan, dan konsentrasi yang dinyatakan pada persamaan A= ε b c , dimana ε adalah absorptivitas molar, b adalah tebal sel, dan c adalah konsentrasi (Sastrohamidjojo, 1985).
Spektrofotometri UV-Vis adalah teknik spektroskopi yang menggunakan sumber REM UV dekat (190-380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan menggunakan instrumen spektrofotometer. Radiasi UV jauh (100-190 nm) tidak digunakan, sebab pada daerah radiasi tersebut diabsorpsi oleh udara. Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energ elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif daripada kualitatif (Sastrohamidjojo, 1985).
Prinsip dasar spektroskopi Uv-Vis adalah terjadinya transisi elektron yang disebabkan penyerapan sinar UV-Vis yang mampu mengeksitasi elektron dari orbital yang kosong. Umumnya transisi yang paling mungkin adalah transisi pada tingkat energi tertinggi (HOMO) ke orbital molekul yang kosong pada tingkat terendah (LUMO). Pda sebagian besar molekul, orbital molekul terisi pada tingkat energi terandah dan orbital σ yang berhubungan dengan ikatan σ, sedangkan orbital π berada pada tingkat energi yang lebih tinggi. Orbital non ikatan (n) yang mengandung elektron-elektron yang belum berpasangan berada pada tingkat energi yang lebih tinggi lagi, sedangkan orbital-orbital anti ikatan yang kosong yaitu σ* dan π* menempati tingkat energi yang tertinggi (Pavia et al., 2001).

J.      Tanur Abu
Tanur adalah alat yang digunakan sebagai pemanas. Istilah tanur berasal dari bahasa latin yaitu fornax, oven. Dalam istilah Inggris tanur digunakan secara eksklusif untuk industri, seperti ekstraksi logam dari bijih atau di kilang minyak dan bahan kimia lainnya, misalnya sebagai sumber pemanas untuk kolom distilasi fraksional. Istilah tanur juga disebut sebagai tempat pembakaran. Tanur pembakaran selalu memerlukan udara keluar. Secara tradisional yaitu melalui cerobong asap, yang cenderung untuk mengusir panas. Tanur biasanya digunakan untuk pembakaran, pengabuan atau mengarangkan zat pada analisis gravimetri. Temperatur pada suhu tinggi dalam tanur (muffle furnace) yaitu diatas 10000C. Pada analisa gravimetric, untuk mengabukan zat yang dianalisis, terlebih dahulu crus harus ditimbang hingga bobotnya tetap. Zat diekstraksi hingga terbentuk endapan, lalu disaring dengan kertas saring bebas abu, dan endapannya dimasukkan ke dalam crus dibakar dengan api kecil kemudian gunakan api besar. Setelah sebagian besar kertas endapan telah menjadi abu yang berwarna putih, pindahkan pemanasan ke dalam tanur (Sudarmadji, 1997).
Pada saat pemijatan kertas saring zat yang diuji, maka seluruh zat organic akan terbakar menjadi arang yang berwarna hitam. Jika pemanasan dilanjutkan seluruh zat organic (arang) akan hilang terbakar  dan akan diperoleh abu atau sisa yang terdiri atas anorganik yang berupa oksida logam yang berwarna putih atau berwarna lain tergantung dari jenis logamnya. Setiap habis pemakaian tanur harus dibersihkan agar tanur tidak rusak dan bagian-bagian dari tanur itu sendiri tidak berkarat.Membersihkannya dengan cara mengelap seluruh bagian tanur dengan alkohol (Apriantono, 1989).







Gambar  3. 6. Tanur Abu
Keuntungan dari metode tanur adalah penggunaannya yang aman, hanya membutuhkan reagen dalam jumlah sedikit, beberapa sampel dapat dianalisis secara bersamaan, tidak memerlukan tenaga kerja yang intensif, dan abu yang dihasilkan dapat dianalisis untuk penentuan kadar mineral. Sementara kelemahan metode ini adalah memerlukan waktu lama, biaya listrik yang lebih tinggi untuk memanaskan tanur dan kehilangan mineral yang dapat menguap pada suhu tinggi (Winarno, 1991).
 
BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 13 Juni sampai dengan tanggal 4 Juli 2014, bertempat di Laboratorium Galenika, Fitokimia dan Instrumen, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT), Tawangmangu.

B. Alat-alat Penelitian
          Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven, tanur abu, neraca analitik, spektrofotometri UV-Vis, mikro pipet, sonikator, kertas saring, kertas saring bebas abu, shaker, crus silikat dan seperangkat alat gelas lainnya.

C. Bahan Penelitian
          Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk daun jati belanda dan serbuk daun kemuning yang berasal dari petani binaan. Bahan-bahan lain yang digunakan untuk mendukung penelitian ini antara lain :  metanol ( OH) p.a, etanol 96 %, etanol 70%,( OH) p.a, AlCl3 akuades akuabides, dan HCl encer.

D. Cara Kerja Penelitian
1.    Penetapan Kadar Abu
a.      Kadar Abu
Langkah pertama yaitu penyiapan bahan dan setting alat serta memanaskan crus silikat hingga bobotnya tetap (berat = a gram), lalu masing-masing sampel yang telah digerus (berat = b gram), ditimbang dengan seksama dan dimasukkan ke dalam crus silikat. Sampel dipijarkan perlahan-lahan sehingga arangnya habis kemudian didinginkan dan ditimbang. Jika arang tidak bisa hilang maka ditambahkan air panas lalu disaring dengan menggunakan kertas bebas abu. Sisa kertas saring dipijarkan dalam crus yang sama hingga bobotnya tetap dan ditimbang dengan seksama (berat = c gram).
b.      Kadar Abu Tidak Larut Asam
Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu, dididihkan dengan 25 ml asam klorida encer selama 5 menit. Bagian yang tidak larut asam dikumpulkan, lalu disaring melalui crus kaca atau kertas saring bebas abu dan dicuci dengan air panas serta dipijarkan hingga bobotnya tetap.

2.    Penentuan Kadar Sari
Sampel serbuk daun jati belanda dan kemuning masing-masing ditimbang sebanyak 5 gram, lalu dilarutkan dengan akuades dan etanol 70%. Sampel yang telah dilarutkan digojok dengan shaker selama 4 jam (100 rpm) dan didiamkan selama satu malam. Ekstrak tersebut disaring lalu diambil 20 ml. Setelah itu, dimasukkan ke dalam cawan. Campuran yang telah dimasukkan ke dalam cawan kemudian dioven hingga kering. Setelah kering campuran ditimbang dan dicatat hasilnya.

3.    Penetapan Kadar Total Flavonoid
Sampel masing-masing ditimbang sebanyak 100 mg, lalu dilarutkan dengan etanol p.a masing-masing sebanyak 10 ml. Sampel disonikasi selama 15 menit dan diinapkan selama semalam. Setelah diinapkan, sampel masing-masing diambil 2 ml, sampel diuapkan dengan cara dioven pada suhu 500 C. Sampel yang telah kering dilarutkan dengan 4 ml etanol p.a, lalu sampel disonikasi lagi selama 15 menit. Sampel di enapkan semalam lagi dan setelah itu siap di uji dengan spektrofotometri UV-Vis. Sebelum sampel diuji dengan spektrofotometri UV-Vis, dibuat larutan blangko dan larutan uji terlebih dahulu. Larutan blangko dibuat dari 1 ml sampel ditambahkan dengan 4 ml H2O. Larutan uji dibuat dari 1 ml sampel ditambahkan 1 ml AlCl3 dan 3 ml H2O. Kedua larutan tersebut didiamkan selama 15-20 menit, kemudian larutan dibaca pada panjang gelombang 430 nm. Data diolah dan dihitung kadar total flavonoidnya.








1 komentar: