BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini
kecenderungan manusia untuk kembali ke alam semakin meningkat, termasuk
penggunaan obat yang berasal dari tumbuhan atau dikenal dengan istilah obat
tradisional. Kecenderungan ini disebabkan karena obat alami dari tumbuhan dirasa
mempunyai efek samping yang lebih kecil dibanding obat-obat modern. Secara
umum, yang termasuk kelompok obat tradisional adalah obat yang berasal dari
alam, baik yang berasal dari tumbuhan, hewan, maupun bahan-bahan mineral.
Penggunaan jenis-jenis tumbuhan, baik berupa akar, kulit, batang, kayu, daun,
bunga, maupun biji untuk pengobatan penyakit telah dikenal sejak zaman
purbakala (Depkes RI, 1989).
Beberapa jenis tumbuhan
yang banyak dimanfaatkan sebagai obat diantaranya adalah jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) dan kemuning (Murraya paniculata (L) Jack). Dua tanaman tersebut tercantum dalam Farmakope Herbal
Indonesia sebagai tanaman obat berkhasiat (Depkes RI, 2001). Beberapa referensi
yang telah ada menyebutkan bahwa jati
belanda banyak
dimanfaatkan sebagai obat pelangsing, obat mencret, diare, batuk, nyeri perut, diaforetik,
kaki bengkak, dan obat penurun hiperlipidemia. Sedangkan, kemuning untuk mengatasi
nyeri, menurunkan demam, obesitas, penyakit infeksi seperti bisul, eksema,
ulkus, infeksi saluran kencing, infeksi saluran pernafasan, diare dan disentri (Heyne,
1987).
Berdasarkan khasiat dari masing-masing tanaman
tersebut, dipengaruhi oleh kandungan senyawa yang terdapat di dalamnya.
Beberapa penelitian telah berhasil mengidentifikasi golongan senyawa-senyawa
kimia yang terdapat di dalam jati
belanda dan kemuning. Kandungan
senyawa kimia dalam jati
belanda antara lain
flavonoid, triterpen, tanin, saponin, polifenol, kardenolin, alkaloid (kafein,
beta sitosterol, friedelin 3a-asetat, friedelin 3b-ol, terpen) dan butadienol. Sedangkan dalam kemuning mengandung
senyawa kimia seperti minyak atsiri , alkaloid, flavonoid, saponin, damar, dan tanin
(BPOM, 2004).
Penelitian
yang telah dilakukan bertujuan untuk mengontrol kualitas simplisia tanaman obat
sebagai bahan baku jamu dari Tawangmangu. Penelitian ini dilaksanakan di Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT),
Tawangmangu yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kementrian RI (Tim B2P2TOOT, 2013).
B.
Rumusan
Masalah
Bagaimana
kualitas simplisia jati
belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) dan kemuning (Murraya paniculata (L) Jack) sebagai
bahan baku jamu?
C.
Tujuan
Penelitian
Mengetahui
kualitas simplisia jati
belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) dan kemuning (Murraya paniculata (L) Jack) sebagai
bahan baku jamu, berdasarkan
parameter standar kementerian kesehatan.
D.
Manfaat
Penelitian
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan data penelitian tentang senyawa
yang berasal dari bahan alam yang dapat berpotensi sebagai jamu atau obat.
Selain itu, dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
pertimbangan pemilihan simplisia bahan baku jamu dalam eksplorasi senyawa bahan
alam, baik isolasi maupun skrining aktivitas biologi, dan penelitian di bidang
kimia yang relevan lainnya.
|
PROFIL
BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TANAMAN OBAT DAN OBAT TRADISIONAL
(B2P2TOOT), TAWANGMANGU
A.
Sejarah Singkat
Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) terletak
di Desa Kalisoro, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa
Tengah. Balai ini merupakan Unit
Pelaksana Teknis, Badan Litbang Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI yang
dirintis dari usaha tanaman obat Hortus
Medicus pada tahun 1948. Seiring
dengan perubahan kebijakan pemerintah atas dasar pertimbangan bahwa Hortus Medicus adalah tempat penelitian
tanaman obat dan sesuai dengan surat keputusan Menteri Kesehatan RI No.149/Menkes/SK/IV/78
pada tanggal 28 April 1978, maka Hortus
Medicus Tawangmangu diubah namanya menjadi Balai Penelitian Tanaman Obat
(BPTO) yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Pusat Penelitian dan Pengembangan
Farmasi, Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Dep. Kes. RI. Secara kelembagaan BPTO membutuhkan
pengembangan organisasi agar mampu menampung seluruh kegiatan dalam rangka
pencapaian tujuan lembaga dari hulu hingga hilir yaitu dari tanaman obat ke
obat tradisional. Mengacu perkembangan
tersebut, melalui Menteri Kesehatan, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri
Kesehatan RI No.491/Per/Menkes/VII/2006 pada tanggal 17 Juli 2006 yang
menetapkan BPTO dikembangkan menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) (Tim B2P2TOOT, 2013).
B.
Visi dan Misi
1. Visi
Masyarakat
sehat dengan jamu yang aman dan berkhasiat.
2. Misi
a.
Meningkatkan mutu litbang tanaman obat
dan obat tradisional.
b.
Mengembangkan hasil litbang tanaman obat
dan obat tradisional.
c. Meningkatkan pemanfaatan hasil
litbang tanaman obat dan obat tradisional (Tim B2P2TOOT, 2013).
C.
Nilai, Motto dan Janji Layanan
1. Nilai
Pro rakyat, jujur, disiplin, bertakwa dan berbudaya.
2. Motto
Ramah, informatif dan terpercaya.
3. Janji Layanan
Memberikan pelayanan yang cepat, tepat, akurat dan profesional
(Tim B2P2TOOT, 2013).
D.
Tugas dan Fungsi
1. Tugas
Melaksanakan
penelitian dan pengembangan tanaman obat dan obat tradisional.
2. Fungsi
a. Perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi penelitian dan atau pengembangan di bidang obat dan obat
tradisional.
b.
Pelaksanaan eksplorasi,
inventarisasi, identifikasi, adaptasi dan koleksi plasma nutfah tanaman obat.
c. Pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi konservasi dan pelestarian plasma nutfah tanaman
obat.
d. Pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi standarisasi tanaman obat dan obat tradisional.
e. Pelaksanaan
pengembangan jejaring kerjasama dan kemitraan di bidang tanaman obat dan obat
tradisional.
f. Pelaksanaan
pelatihan teknis di bidang pembibitan, budidaya, paska panen, analisis, koleksi
spesimen tanaman obat serta uji keamanan dan kemanfaatan obat tradisional.
g. Pelaksanaan
urusan tata usaha dan rumah tangga.
Selain
memiliki tugas dan
fungsi, B2P2TOOT juga memiliki kegiatan utama antara lain:
a. Melaksanakan
saintifikasi jamu: penelitian berbasis pelayanan
b. Mengembangkan
bahan baku terstandarisasi
c. Mengembangkan
jejaring kerjasama
d. Mengembangkan
teknologi tepat guna
e. Diseminasi, sosialisasi dan
pemanfaatan hasil litbang TOOT
f. Mengembangkan
karir dan mutu SDM
g. Meningkatkan
perolehan HKI dari hasil litbang TOOT
h. Mengembangkan
sarana dan prasarana
i. Menyusun
draft regulasi dan kebijakan teknis litbang TOOT (Tim B2P2TOOT, 2013).
E. Ketenagaan
SDM di B2P2TOOT Tawangmangu berjumlah 88 orang,
meliputi 77 PNS dan 11 CPNS. Bidang ilmu
antara lain biologi, agronomi, agribisnis, teknologi pertanian, biokimia,
farmakologi, kedokteran, kefarmasian, analis kesehatan, kesehatan
masyarakat dan komunikasi (Tim B2P2TOOT, 2013).
F. Bidang Kepakaran
Penelitian dan pengembangan di B2P2TOOT dikelompokkan
menjadi 2 bidang, yaitu:
1.
Tanaman Obat, meliputi: bioprospeksi,
teknologi obat tradisional dan standarisasi tanaman obat.
2.
Obat Tradisional, meliputi: keamanan
dan khasiat obat tradisional (Tim B2P2TOOT, 2013).
G. Struktur Organisasi
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Eselon 2 di
bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.
KEPALA.
|
INSTALASI
DAN LABORATORIUM
|
SEKSI KERJASAMA DAN INFORMASI
|
SEKSI PROGRAM DAN EVALUASI
|
SEKSI SARANA PENELITIAN
|
BIDANG
PROGRAM, KERJASAMA DAN INFORMASI
|
BIDANG
PELAYANAN
PENELITIAN
.
|
SUB BAG. KEUANGAN
|
SUB BAG. UMUM
|
BAGIAN TATA USAHA
|
KELOMPOK
JABATAN
FUNGSIONAL
|
SEKSI PELAYANAN TEKNIS
PENELITIAN
|
Gambar 2.1 Struktur organisasi B2P2TOOT, Tawangmangu
(Tim B2P2TOOT, 2013).
H.
Laboratorium dan Instalasi
Peralatan laboratorium utama yang
mendukung pelaksanaan kegiatan laboratorium seperti Gas Chromatography, TLC
densitometer, High Performance Liquid Chromatography (HPLC), Vacum
Rotavapor, spectrophotometer, blotting apparatus, Termocycler PCR dan lain
sebagainya.
1. Laboratorium
a. Laboratorium Sistematika
Tumbuhan
Untuk
identifikasi, determinasi, dan pengembangan database. Kegiatan rutin berupa pembuatan spesimen
dalam bentuk preparat mikroskopis, herbarium basah dan kering, serta
determinasi tanaman.
b.
Laboratorium
Hama dan Penyakit Tanaman
Untuk
identifikasi hama dan penyakit tanaman dan penelitian tentang cara pengendalian
hama dan penyakit tanaman.
c.
Laboratorium
Galenika
Untuk
mengolah simplisia menjadi bentuk sediaan yang siap digunakan. Kegiatan yang
dilakukan berupa pembuatan ekstrak, destilasi minyak atsiri serta mengkoleksi
atau membuat bank ekstrak dan bank minyak atsiri.
d.
Laboratorium
Fitokimia
Untuk
mengetahui kandungan kimia tanaman yang meliputi penapisan fitokimia, pembuatan
profil Kromatografi Lapis Tipis (KLT), isolasi zat aktif dan penetapan kadar
senyawa aktif.
e.
Laboratorium
Formulasi
Untuk
mengembangkan produk dan bentuk sediaan, antara lain: kapsul, tablet jamu, sabun sehat, minuman instant,
minyak gosok, aromaterapi, lulur dan masker.
f.
Laboratorium
Toksikologi dan Farmakologi
Untuk
mendukung kegiatan penelitian praklinik, yaitu mengkaji khasiat dan keamanan
formula jamu dengan menggunakan hewan coba.
g.
Laboratorium
Bioteknologi
Untuk kultur
jaringan tanaman dan biologi molekuler.
2. Instalasi
a. Instalasi Benih dan Pembibitan Tanaman Obat
Kegiatan Instalasi Benih dan Pembibitan meliputi
pengumpulan, pengolahan dan menyediakan stok benih tanaman obat.
b.
Instalasi
Adaptasi dan Pelestarian
Tujuan
adaptasi adalah mengaklimatisasi tanaman hasil eksplorasi maupun tanaman baru
agar mampu tumbuh di lokasi baru. Pelestarian
ditujukan untuk menjaga kelestarian tanaman obat yang sudah langka, sangat
sedikit dan pertumbuhannya mudah terganggu oleh perubahan iklim.
c.
Instalasi
Koleksi Tanaman Obat
1.
Kebun Etalase Tanaman Obat
Etalase
tanaman obat merupakan kebun rekreasi dan edukasi yang digunakan sebagai sarana
pembelajaran atas keragaman jenis tanaman obat dan manfaatnya. Terletak pada ketinggian 1200 meter dpl.
Jumlah koleksi kurang lebih 800
spesies.
2.
Kebun Tlogodlingo
Terletak pada ketinggian 1700-1800 meter dpl
dengan luas sekitar 12 Ha.
3.
Kebun Karangpandan
Kebun
Karangpandan terdiri dari Kebun Toh Kuning dan Doplang. Kebun tersebut terletak
pada ketinggian 600-700 meter dpl dengan luas sekitar 2,5 Ha.
d.
Instalasi
Paska Panen
Instalasi paska panen melakukan penanganan hasil panen
tanaman obat, meliputi pencucian: sortasi, pengubahan bentuk, pengeringan,
pengemasan dan penyimpanan (Tim B2P2TOOT, 2013).
BAB III
DASAR TEORI
A. Simplisia
Simplisia
adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami
pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan.
Terdapat 3 macam simplisia yaitu, simplisia nabati, simplisia hewani dan
simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati merupakan simplisia yang berupa
tanaman utuh atau bagian dari tanaman. Simplisia
hewani merupakan simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat
yang berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni.
Sedangkan simplisia pelikan (mineral) adalah simplisia yang berupa bahan
pelikan (mineral) yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan
belum berupa zat kimia murni (Depkes RI, 1985).
B.
Macam
Simplisia Uji
1.
Jati Belanda
(Guazuma ulmifolia Lamk.)
a. Deskripsi Tanaman
Jati belanda atau Guazuma ulmifolia Lamk, mempunyai sinonim nama latin Guazuma tomentosa Kunth. Di jawa jati belanda
sering disebut jati londa atau jatos landi (Heyne, 1987). Pohon jati belanda
berasal dari daerah tropis di Amerika. Jati belanda dapat tumbuh pada
ketinggian 1200 m di atas permukaan laut dengan curah hujan 700-1500 mm
(Suganda, 2007).
Gambar 3.1. Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk)
Jati
belanda merupakan tumbuhan berupa semak atau pohon, tinggi 10 m sampai 20 m,
percabangan ramping. Bentuk daun bundar telur sampai lanset, panjang helai daun
4 cm sampai 22,5 cm, lebar 2 cm sampai 10 cm, pangkal menyerong berbentuk
jantung, bagian ujung tajam, permukaan daun bagian atas berambut jarang,
permukaan bagian dalam berambut rapat, panjang tangkai daun 5 mm sampai 25 mm,
mempunyai daun penumpu berbentuk lanset atau paku, panjang 3 mm sampai 6 mm. Kedudukan tanaman Guazuma ulmifolia Lamk dalam tata
nama tumbuhan termasuk dalam klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub
kelas : Dillenidae
Ordo : Malvales
Famili : Sterculiaceae
Genus : Guazuma
Spesies : Guazuma ulmifolia Lamk.
(Tjitrosoepomo, 2005).
b. Kandungan Kimia
Menurut BPOM
(2004), kandungan senyawa kimia dalam jati belanda
antara lain flavonoid, triterpen, tanin, saponin, polifenol, kardenolin,
alkaloid (kafein, beta sitosterol, friedelin 3a-asetat, friedelin 3b-ol,
terpen) dan butadienol. Tumbuhan ini kaya dengan berbagai kandungan kimia,
kulitnya mengandung asam damar dan zat samak. Daun, buah dan bijinya mengandung
zat pahit, glikose, minyak lemak, dan karbohidrat (Suganda, 2007).
c. Khasiat Jati Belanda
Jati belanda banyak dimanfaatkan sebagai obat
pelangsing, obat mencret, diare, batuk, nyeri perut, kaki bengkak, dan obat
penurun hiperlipidemia (Heyne, 1987). Setiap komponen tanaman jati belanda ini
memiliki peranan sendiri-sendiri seperti daunnya berperan sebagai obat
pelangsing tubuh. Bijinya digunakan sebagai obat mencret. Buah atau daunnya
digunakan sebagai obat untuk membantu pengobatan diare, batuk, dan nyeri perut.
Kaki batang berperan untuk membantu pengobatan bengkak pada kaki. Penelitian
uji klinis digunakan untuk menurunkan hiperlipidemia (Hambing et al., 1992).
2.
Kemuning
(Murraya paniculata (L.) Jack)
a.
Deskripsi
Kemuning
Kemuning
(Murraya paniculatha [L.] Jack.) merupakan tanaman yang biasanya tumbuh liar di semak belukar,
tepi hutan, atau ditanam sebagai tanaman hias dan tamanan pagar. Pohonnya
kecil, bercabang banyak, tinggi sampai 3-8 m, batangnya keras, beralur, tidak
berduri. Daun majemuk, bersirip ganjil dengan anak daun 3-9, letak berseling.
Klasifikasi dari tanaman kemuning adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Sapindales
Famili : Rutaceae
Genus : Murraya
Spesies :
Murraya paniculata L. Jack
(Tjitrosoepomo, 2005).
Gambar 3.2. Daun Kemuning
(Murraya paniculata [L.] Jack.)
b. Kandungan Kimia
Kemuning
mengandung senyawa kimia seperti minyak atsiri , alkaloid, flavonoid, saponin,
damar, dan tanin. Selain itu, kandungan kimia dalam tanaman keminung antara
lain cadinene, methyl-anthranilate, bisabolene, P-earyophyllene, geraniol,
carene-3, eugenol, citronellol, methyl-salicylate, ostholo, tanin, paniculatin,
guaiazulene, coumurrayin, mexotionin, 5-7-dimetoxy-8-(2,3-dihydroxyisopentyl)
coumarin, scopeletin, dan semi-ec-carotenone (Hambing et al., 2002).
c. Khasiat Kemuning
Kemuning
untuk mengatasi nyeri, menurunkan demam, obesitas, penyakit infeksi seperti
bisul, eksema, ulkus, infeksi saluran kencing, infeksi saluran pernafasan,
diare dan disentri (Heyne, 1987). Menurut Hambing dan kawan-kawan (1992), berbagai
manfaat yang terdapat pada tanaman kemuning ini antara lain radang buah zakar
(orchitis), radang saluran napas (bronkhitis), infeksi saluran kencing, kencing
nanah, keputihan, sakit gigi, haid tidak teratur, lemak tubuh berlebihan,
pelangsing tubuh, nyeri pada tukak (ulkus), kuli kasar, memar akibat benturan,
rematik, keseleo, digigit serangga dan ular berbisa, eksema, bisul, koreng,
epidemik encephalitis B, luka terbuka di kulit.
C. Flavonoid
Dalam
tumbuhan, flavonoid adalah pigmen-pigmen yang tersebar secara luas dalam bentuk
senyawa glikon dan aglikon. Flavonoid memiliki kerangka dasar 15 atom karbon,
dimana dua cincin benzena (C6) terikat pada suatu rantai propana (C3)
sehingga membentuk susunan C6-C3-C6. Biasanya mengandung benzopiron.
Glikosidanya dalam tumbuhan dapat ditarik dengan pelarut-pelarut organik yang
bersifat polar seperti metanol dan etanol. Identifikasi senyawa ini dapat
dilakukan dengan reaksi Bate Smith-Metcalf atau Sianidin-Wilstater terutama
untuk senyawa yang mempunyai struktur benzopiron (Harbone, 1996). Contoh
senyawa golongan flavonoid disajikan dalam gambar 3 berikut ini :
Gambar 3.3. Struktur Quercetin
Flavonoid
adalah senyawa metabolit sekunder, dihasilkan oleh suatu tanaman yang dijumpai
pada bagian daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga dan biji. Flavonoid
merupakan pigmen berwarna mencakup warna merah, ungu, biru, dan sebagian
kuning. Flavonoid mempunyai sifat khas yaitu bau yang sangat tajam, mudah
terurai pada temperatur tinggi, larut dalam air dan pelarut organik. Flavonoid
bersifat racun/aleopatik terdapat pada kulit jeruk manis, merupakan
persenyawaan glikosida yang terdiri dari gula yang terikat dengan flavon.
Flavonoid yang tidak ada rasanya disebut hesperidin, sedangkan limonin
menyebabkan rasa pahit. Sebagian besar flavonoid alam ditemukan dalam bentuk
glikosida yang terikat oleh gula (Macdonald et al., 2011).
Flavonoid
dapat diidentifikasi dengan berbagai cara seperti diberikan uap ammonia (tidak
semua flavonoid dapat diuapin ammonia) atau dapat menggunakan spektrofotometri
UV-Vis. Analisis dilakukan dengan tahapan pembuatan larutan standar, yakni
dengan menggunakan larutan standar flavonoid, optimasi panjang gelombang,
penentuan absorbansi murni senyawa flavonoid, dan kalibrasi hasil pengukuran
dengan standar yang sudah dibuat. Larutan standar yang digunakan adalah senyawa
flavonoid dengan konsentrasi 5, 10, 20, 30, 40, dan 50 ppm. Larutan blangko
yang digunakan adalah akuades dan sampel sebanyak 1 gram (Harbone, 1996).
Menurut
Herbert (1995), Optimasi panjang gelombang dilakukan untuk menentukan panjang
gelombang maksimum yang akan digunakan dalam pengukuran menggunakan
spektrofotometer UV-Vis dengan menggunakan satu larutan standar. Langkah
selanjutnya adalah penentuan absorbansi larutan standar pada panjang gelombang
maksimum dilanjutkan dengan penentuan absorbansi sampel. Absorbansi fraksi
flavonoid dikalibrasikan dengan kurva konsentrasi standar versus absorbansi
standar dengan persamaan regresi linier. Hasil yang diperoleh diperhitungkan
dengan faktor pengenceran sehingga diperoleh konsentrasi flavonoid yang
terdapat dalam ekstrak metanol bahan baku jamu. Fungsi senyawa flavonoid yaitu
sebagai senyawa metabolit sekunder. Metabolit sekunder tidak secara langsung
terlibat dalm proses-proses yang bersifat essensial, tetapi biasanya memiliki
fungsi ekologis penting. Berbagai aktifitas dari metabolit sekunder antara
lain: antikanker, antibakteri, antioksidan, dan antifungi. Penting menentukan
kadar flavonoid dalam bahan baku jamu, yaitu sebagai estimasi penggunaan bahan
baku tersebut sebagai jamu (Hambing et al.,
1992).
D. Kontrol Kualitas Simplisia
Struktur kimia yang berbeda-beda
akan mempengaruhi kualitas serta stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap
pemanasan, udara, cahaya, logam berat dan derajat keasaman. Dengan diketahuinya
senyawa aktif yang terkandung dalam simplisia, akan mempermudah pemilihan
pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat. Ketetapan kadar senyawa aktif
merupakan syarat mutlak mutu ekstrak yang diproduksi. Oleh sebab itu, setiap
ekstrak harus distandarisasi. Standarisasi adalah serangkaian parameter,
prosedur, dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait
seperti paradigma mutu yang memenuhi standar dan jaminan stabilitas produk.
Hasil dari proses ekstraksi ini dapat menghasilkan parameter spesifik dan non
spesifik ekstrak yang terstandar dan diharapkan mampu menunjukan kualitas
ekstrak tersebut baik dalam hal kandungan bahan aktif, kadar air, maupun batas
cemaran yang diperbolehkan (BPOM RI, 2004).
Kontrol kualitas merupakan parameter
yang digunakan dalam proses standarisasi suatu simplisia. Parameter standarisasi
simplisia meliputi parameter spesifik dan non spesifik. Parameter nonspesifik
lebih terkait dengan faktor lingkungan dalam pembuatan simplisia, sedangkan
parameter spesifik terkait langsung dengan senyawa yang ada di dalam tanaman (Depkes
RI, 1985).
E. Parameter Standar untuk Obat
Tradisional
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994 tentang persyaratan obat
tradisional berupa rajangan, rajangan adalah sediaan obat tradisional berupa
potongan simplisia, campuran simplisia atau campuran simplisia dengan sediaan
galenik, yang penggunaannya dilakukan dengan pendidihan atau peyeduhan dengan
air panas. Ada dua parameter yaitu:
1.
Parameter Non Spesifik
a.
Kadar air
Kadar air tidak boleh lebih dari 10
%. Parameter kadar air merupakan suatu pengukuran kandungan air yang terdapat
dalam bahan yang dilakukan dengan cara titrasi, destilasi, atau gravimetric.
Tujuannya adalah memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya
kandungan air di dalam bahan. Nilai kadar air adalah maksimal atau rentang yang
diperbolehkan serta terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (Ritiasa, 2000 dan
Sudarmadji, 1997).
b.
Angka lempeng total
Angka lempemg total merupakan
pertumbuhan bakteri aerob mesofil setelah cuplikan diinokulasi pada media
lempeng agar dengan cara tuang dan diinokulasi pada suhu yang sesuai. Angka
lempeng total tidak lebih dari 106 koloni per gram untuk rajangan
yang penggunaannya dengan cara pendidihan, tidak lebih dari 107
koloni per gram untuk rajangan yang penggunaannya dengan cara penyeduhan (Ritiasa,
2000).
c.
Angka kapang dan khamir
Angka kapang atau khamir merupakan
pertumbuhan kpang atau khamir setelah cuplikan diinokulasi pada media yang
sesuai dan diinkubasi pada suhu 20-250C. Angka kapang dan khamir
tidak lebih dari 104 koloni per gram (Ritiasa, 2000).
d.
Mikroba patogen
Adanya mikroba patogen negatif
e.
Aflatoksis
Aflatoksis tidak lebih dari 30
bagian per juta (bpj)
f.
Wadah dan penyimpanan
Dalam wadah yang tertutup baik,
disimpan pada suhu kamar, di tempat kering dan terlindung dari cahaya matahari.
g.
Kadar Abu
Parameter kadar abu dilakukan dengan
pemanasan bahan pada suhu tinggi (8000C) dimana senyawa organik dan
turunannya terdestruksi dan menguap tertinggal unsur mineral dan anorganik atau
bahan pengotor lain seperti pasir dan tanah. Bertujuan untuk memberikan
gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal
sampai terbentuknya ekstrak.
2.
Parameter Spesifik
a.
Senyawa terlarut dalam pelarut
tertentu (Kadar Sari)
Penetapan senyawa terlarut dalam
pelarut tertentu (air dan etanol) bertujuan untuk mengetahui jumlah senyawa
yang tersari (terlarut) dalam senyawa tertentu. Jumlah senyawa yang larut dalam
pelarut dari suatu simplisia biasanya spesifik. Penetapan penentuan dari
parameter ini dilakukan dengan melarutkan ekstrak dengan pelarut etanol dan air
untuk ditentukan jumlah solut yang identik dengan jumlah senyawa kandungan
secara gravimetrik. Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam
pelarut lain, misalnya heksana, metanol, dan lain-lain. Penetapan ini
didapatkan gambaran awal jumlah kandungan senyawa dalam suatu ekstrak.
F. Penentuan Kadar Sari
Penetapan kadar sari adalah metode
kuantitatif untuk jumlah kandungan senyawa dalam simplisia yang dapat tersari
dalam pelarut tertentu. Penetapan ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
kadar sari yang larut dalam air dan kadar sari yang larut dalam etanol. Kedua
cara ini didasarkan pada kelarutan senyawa yang terkandung dalam simplisia.
Masing-masing sampel dilarutkan dalam pelarut air dan etanol. Setelah itu
dikocok dengan Sharker, selama 4-5
jam, kemudian didiamkan selama satu malam. Ekstrak yang telah didiamkan satu
malam, disaring dan diambil 20 ml ke dalam cawan dan di keringkan. Setelah
cawan dingin, kemudian dilakukan penimbangan dan perhitungan kadar sari larut
dalam air dan etanol dengan persamaan berikut:
(Depkes RI, 2001).
G. Penetapan Kadar Abu
Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan.
Mineral yang terdapat dalam suatu bahan terdapat dalam suatu bahan dapat
merupakan dua macam garam yaitu garam organic dan garam anorganik. Yang
termasuk dalam garam organic misalnya garam-garam asam mallat, oksalat, asetat,
pektat. Sedangkan garam anorganik antara lain dalam bentuk garam fosfat,
karbonat, klorida, sulfat, nitrat. Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang
mineral berbentuk sebagai senyawaan komplek yang bersifat organis. Apabila akan
ditentukan jumlah mineralnya dalam bentuk aslinya sangatlah sulit,oleh karena
itu biasanya dilakukan dengan menentukan sisa-sisa pembakaran garam mineral
tersebut,yang dikenal dengan pengabuan (Sudarmadji, 1997).
Penentuan
kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan sebagai berikut:
- Untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan
- Untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan
- Untuk memperkirakan kandungan buah yang digunakan untuk membuat jelly. Kandungan abu juga dapat dipakai untuk menentukan atau membedakan buah asli atau sintesis
- Sebagai parameter nilai bahan pada makanan. Adanya kandungan abu yang tidak larut dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya pasir atau kotoran lain ( Winarno, 1991 ).
Penentuan
kadar abu adalah mengoksidasikan senyawa organik pada suhu yang tinggi,yaitu
sekitar 500-800°C dan melakukan penimbangan zat yang tinggal setelah proses
pembakaran tersebut. Lama pengabuan tiap bahan berbeda–beda dan berkisar antara
2-8 jam. Pengabuan dilakukan pada alat pengabuan yaitu tanur yang dapat diatur
suhunya. Pengabuan diangap selesai apa bila diperoleh sisa pembakaran yang
umumnya bewarna putih abu-abu dan beratnya konstan dengan selang waktu 30
menit. Penimbangan terhadap bahan dilakukan dalam keadan dingin,untuk itu krus
yang berisi abu diambil dari dalam tanur harus lebih dahulu dimasukan ke dalam oven bersuhu 105°C agar suhunya turun menyesuaikan degan
suhu didalam oven,barulah dimasukkan kedalam desikator sampai dingin,barulah
abunya dapat ditimbang hingga hasil timbangannya konstan ( Depkes RI, 2001).
H.
Sonikasi
Sonikasi
adalah suatu cara penerapan energi ultrasonik untuk memisahkan
partikel-partikel yang menempel pada sampel yang akan disonikasi. Ultrasuara
yang digunakan dalam sonikasi merupakan tekanan suara siklik dengan frekuensi
yang lebih besar dari pada batas pendengaran manusia. Sonikasi digunakan untuk
mempercepat pemisahan partikel dalam sampel, dengan cara mencegah interaksi
antarmolekul. Sonikasi juga dapat berfungsi untuk menghilangkan gas-gas
terlarut dari cairan sampel dengan cara mensonikasi cauran dalam keadaan vakum.
Alat sonikasi yaitu sonikator. Sonikator merupakan generator dengan frekuensi
suara tinggi yang digunakan untuk merusak sel atau menggeser asam nukleat.
Bahaya penggunaan sonikator mencakup suara dengan frekuensi yang terlalu tinggi
yaitu 42 kHz. Sonikator menghasilkan gelombang suara dalam kisaran 20.000 Hz,
yang berada di luar kisaran normal pendengaran manusia. Suara yang terdengar
saat dihasilkan aktifitas cairan dalam wadah sampel atau getaran diantara
peralatan yang longgar (Dean, 1998). Berikut ini adalah gambar sonikator:
Gambar 3.
4. Sonikator
Prinsip
kerja sonikasi adalah adalah suatu proses pengubahan sinyal listrik menjadi
getaran mekanis yang dapat diarahkan menuju zat yang dilakukan untuk memecahkan
ikatan antar molekul atau untuk merusak sel. Bagian utama sonikator adalah
generator listrik ultrasonik. Alat ini menghasilkan sinyal yang menghidupkan
transduktor. Transduktor kemudian mengkonversi sinyal elektrik dengan
menggunakan kristal piezoelectric,
yaitu kristal yang dapat merespon listrik dengan menghasilkan getaran
mekanis. Getaran tersebut dijaga
sonikator hingga melewati probe. Probe berperan dalam menyampaikan getaran pada
cairan yang disonikasi. Pergerakan probe yang yang terjadi dengan cepat
menghasilkan efek aktivitas yang terjadi ketika terbentuk gelembung-gelembung
mikroskopis dalam larutan akibat adanya getaran. Pembentukan dan penghancuran
gelembung tersebut menghasilakan gelombang getaran berenergi tinggi yang dapat
merusak sel (Lacoma, 2009).
I.
Spektrofotometri
UV-VIS
Spektrofotometri adalah metode analisis zat
berdasarkan interaksi materi dengan radiasi elektromagnetik (Khopkar, 1990). Gambar
interaksi tersebut adalah sebagai berikut :
Gambar 3. 5. Interaksi Materi dengan REM
Dasar
dari spektrofotometri UV-Vis adalah absorpsi. Absorpsi dalam daerah ultraviolet
dapat menyebabkan eksitasi elektron yang meliputi transisi elektron π, σ, n, d,
f, dan transfer muatan. Panjang gelombang serapan merupakan perbedaan
ukuran tingakat-tingkat energi dari elektron yang tereksitasi. Oleh karena itu,
punacak absorpsi (λ maks) dapat dihubungkan dengan jenis-jenis ikatanyang ada
dalam spesies. Sumber radiasi yang dipancarkan dan seberapa radiasi yang
diserap oleh larutan harus memenuhi hukum Lambert-Beer. Hukum Lambert-Beer
menyatakan bahwa fraksi penyerapan sinar tidak bergantung pada intensitas
sumber cahaya tetapi sebanding dengan banyaknya molekul yang menyerap. Dari
hukum Lambert-Beer dapat diketahui hubungan antara transmitan, tebal cuplikan,
dan konsentrasi yang dinyatakan pada persamaan A= ε b c , dimana ε adalah
absorptivitas molar, b adalah tebal sel, dan c adalah konsentrasi (Sastrohamidjojo,
1985).
Spektrofotometri
UV-Vis adalah teknik spektroskopi yang menggunakan sumber REM UV dekat (190-380
nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan menggunakan instrumen
spektrofotometer. Radiasi UV jauh (100-190 nm) tidak digunakan, sebab pada
daerah radiasi tersebut diabsorpsi oleh udara. Spektrofotometri UV-Vis
melibatkan energ elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis
sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis
kuantitatif daripada kualitatif (Sastrohamidjojo, 1985).
Prinsip
dasar spektroskopi Uv-Vis adalah terjadinya transisi elektron yang disebabkan
penyerapan sinar UV-Vis yang mampu mengeksitasi elektron dari orbital yang
kosong. Umumnya transisi yang paling mungkin adalah transisi pada tingkat
energi tertinggi (HOMO) ke orbital molekul yang kosong pada tingkat terendah
(LUMO). Pda sebagian besar molekul, orbital molekul terisi pada tingkat energi
terandah dan orbital σ yang berhubungan dengan ikatan σ, sedangkan orbital π
berada pada tingkat energi yang lebih tinggi. Orbital non ikatan (n) yang
mengandung elektron-elektron yang belum berpasangan berada pada tingkat energi
yang lebih tinggi lagi, sedangkan orbital-orbital anti ikatan yang kosong yaitu
σ* dan π* menempati tingkat energi yang tertinggi (Pavia et al., 2001).
J.
Tanur
Abu
Tanur adalah
alat yang digunakan sebagai pemanas. Istilah tanur berasal dari bahasa latin
yaitu fornax, oven. Dalam istilah Inggris tanur digunakan secara eksklusif
untuk industri, seperti ekstraksi logam dari bijih atau di kilang minyak dan
bahan kimia lainnya, misalnya sebagai sumber pemanas untuk kolom distilasi
fraksional. Istilah tanur juga disebut sebagai tempat pembakaran. Tanur
pembakaran selalu memerlukan udara keluar. Secara tradisional yaitu melalui
cerobong asap, yang cenderung untuk mengusir panas. Tanur biasanya digunakan
untuk pembakaran, pengabuan atau mengarangkan zat pada analisis gravimetri.
Temperatur pada suhu tinggi dalam tanur (muffle furnace) yaitu diatas 10000C.
Pada analisa gravimetric, untuk mengabukan zat yang dianalisis, terlebih dahulu
crus harus ditimbang hingga bobotnya tetap. Zat diekstraksi hingga terbentuk
endapan, lalu disaring dengan kertas saring bebas abu, dan endapannya
dimasukkan ke dalam crus dibakar dengan api kecil kemudian gunakan api besar.
Setelah sebagian besar kertas endapan telah menjadi abu yang berwarna putih, pindahkan
pemanasan ke dalam tanur (Sudarmadji, 1997).
Pada
saat pemijatan kertas saring zat yang diuji, maka seluruh zat organic akan
terbakar menjadi arang yang berwarna hitam. Jika pemanasan dilanjutkan seluruh
zat organic (arang) akan hilang terbakar
dan akan diperoleh abu atau sisa yang terdiri atas anorganik yang berupa
oksida logam yang berwarna putih atau berwarna lain tergantung dari jenis
logamnya. Setiap habis pemakaian tanur harus dibersihkan agar tanur tidak
rusak dan bagian-bagian dari tanur itu sendiri tidak berkarat.Membersihkannya
dengan cara mengelap seluruh bagian tanur dengan alkohol (Apriantono, 1989).
Gambar 3.
6. Tanur Abu
Keuntungan
dari metode tanur adalah penggunaannya yang aman, hanya membutuhkan reagen
dalam jumlah sedikit, beberapa sampel dapat dianalisis secara bersamaan, tidak
memerlukan tenaga kerja yang intensif, dan abu yang dihasilkan dapat dianalisis
untuk penentuan kadar mineral. Sementara kelemahan metode ini adalah memerlukan
waktu lama, biaya listrik yang lebih tinggi untuk memanaskan tanur dan
kehilangan mineral yang dapat menguap pada suhu tinggi (Winarno, 1991).
BAB
IV
METODE
PENELITIAN
A.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini
dilaksanakan dari tanggal 13 Juni sampai dengan tanggal 4 Juli 2014, bertempat
di Laboratorium Galenika, Fitokimia dan Instrumen, Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT), Tawangmangu.
B.
Alat-alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah oven, tanur abu, neraca analitik, spektrofotometri UV-Vis,
mikro pipet, sonikator, kertas saring, kertas saring bebas abu, shaker, crus silikat dan seperangkat alat gelas lainnya.
C. Bahan Penelitian
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk
daun jati belanda dan serbuk daun kemuning yang berasal dari petani binaan. Bahan-bahan
lain yang digunakan untuk mendukung penelitian ini antara lain : metanol (
OH) p.a, etanol 96 %, etanol 70%,(
OH) p.a,
AlCl3 akuades
akuabides, dan
HCl encer.
D.
Cara Kerja Penelitian
1.
Penetapan
Kadar Abu
a.
Kadar
Abu
Langkah
pertama yaitu penyiapan bahan dan setting
alat serta memanaskan crus silikat
hingga bobotnya tetap (berat = a gram), lalu masing-masing sampel yang telah
digerus (berat = b gram), ditimbang dengan seksama dan dimasukkan ke dalam crus silikat. Sampel dipijarkan
perlahan-lahan sehingga arangnya habis kemudian didinginkan dan ditimbang. Jika
arang tidak bisa hilang maka ditambahkan air panas lalu disaring dengan
menggunakan kertas bebas abu. Sisa kertas saring dipijarkan dalam crus yang sama hingga bobotnya tetap dan
ditimbang dengan seksama (berat = c gram).
b.
Kadar
Abu Tidak Larut Asam
Abu
yang diperoleh dari penetapan kadar abu, dididihkan dengan 25 ml asam klorida
encer selama 5 menit. Bagian yang tidak larut asam dikumpulkan, lalu disaring
melalui crus kaca atau kertas saring
bebas abu dan dicuci dengan air panas serta dipijarkan hingga bobotnya tetap.
2.
Penentuan
Kadar Sari
Sampel
serbuk daun jati belanda dan kemuning masing-masing ditimbang sebanyak 5 gram,
lalu dilarutkan dengan akuades dan etanol 70%. Sampel yang telah dilarutkan
digojok dengan shaker selama 4 jam
(100 rpm) dan didiamkan selama satu malam. Ekstrak tersebut disaring lalu
diambil 20 ml. Setelah itu, dimasukkan ke dalam cawan. Campuran yang telah
dimasukkan ke dalam cawan kemudian dioven hingga kering. Setelah kering
campuran ditimbang dan dicatat hasilnya.
3.
Penetapan
Kadar Total Flavonoid
Sampel
masing-masing ditimbang sebanyak 100 mg, lalu dilarutkan dengan etanol p.a masing-masing sebanyak 10 ml. Sampel
disonikasi selama 15 menit dan diinapkan selama semalam. Setelah diinapkan,
sampel masing-masing diambil 2 ml, sampel diuapkan dengan cara dioven pada suhu
500 C. Sampel yang telah kering dilarutkan dengan 4 ml etanol p.a, lalu sampel disonikasi lagi selama
15 menit. Sampel di enapkan semalam lagi dan setelah itu siap di uji dengan
spektrofotometri UV-Vis. Sebelum sampel diuji dengan spektrofotometri UV-Vis, dibuat
larutan blangko dan larutan uji terlebih dahulu. Larutan blangko dibuat dari 1
ml sampel ditambahkan dengan 4 ml H2O. Larutan uji dibuat dari 1 ml
sampel ditambahkan 1 ml AlCl3 dan 3 ml H2O. Kedua larutan
tersebut didiamkan selama 15-20 menit, kemudian larutan dibaca pada panjang
gelombang 430 nm. Data diolah dan dihitung kadar total flavonoidnya.